Sabtu, 30 Oktober 2010

BAB 1 2 3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Anak merupakan generasi penerus bangsa yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta dalam membangun Negara dan bangsa Indonesia. Anak adalah aset bangsa yang akan menentukan nasib bangsa dimasa depan. Karena itu, kualitas mereka sangat ditentukan oleh proses dan bentuk perlakuan mereka di masa kini.
Anak Indonesia adalah manusia Indonesia yang harus dibesarkan dan dikembangkan sebagai manusia seutuhnya, sehingga mempunyai kemampuan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara yang rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat.
Memang disadari bahwa hak-hak anak dijamin dan dipenuhi, terutama menyangkut kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Namun dalam kehidupan masyarakat, kompleksitas permasalahan menyertai kehidupan anak, baik aspek pendidikan, kesehatan maupun perlakuan yang tidak adil dipandang dari segi hukum, agama maupun moralitas kehidupan.
Anak Indonesia sebagai anak bangsa sebagian besar mempunyai kemampuan untuk mengembangkan dirinya untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara yang bertanggung jawab dan bermanfaat untuk sesama manusia. Kondisi fisik dan mental seorang anak yang masih lemah seringkali memungkinkan dirinya disalahgunakan secara legal atau illegal, secara langsung atau tidak langsung oleh orang sekelilingnya tanpa dapat berbuat sesuatu.
Kondisi buruk bagi anak ini, dapat berkembang terus dan mempengaruhi hidupnya lebih lanjut dalam bernegara dan bermasyarakat. Situasi seperti ini dapat membahayakan Negara, padahal maju atau mundurnya suatu bangsa sangat tergantung bagaimana bangsa itu memperlakukan dan mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu, perlindungan anak perlu mendapat perhatian khusus di dalam pembangunan bangsa.
Saat ini banyak dijumpai anak-anak yang berprilaku menyimpang. Perilaku anak yang menyimpang ini, jelas tampak kini di tengah- masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perilaku mereka sudah sangat mengkhawatirkan dan merupakan masalah yang berbahaya. Hal ini dapat dilihat dari delik kesusilaan khususnya delik pencabulan yang terjadi dan pernah dimuat dalam berbagai media massa. Pelajar SMU (18) di Sleman melakukan perbuatan cabul terhadap siswi SMP yang baru berumur 14 tahun karena pernah menonton VCD porno (Merapi 13/11/2006), di Klaten perbuatan cabul dilakukan oleh remaja (12) terhadap Balita (Bernas 28/3/2006), karena alasan cinta perbuatan cabul dilakukan oleh teman sekelas Siswa SMP di Malang dan menganggap hal tersebut wajar karena pelaku adalah pacar korban sendiri (Surya Online 22/11/2006), di Bandung perbuatan cabul dilakukan oleh pelajar SMU (16) terhadap empat gadis cilik karena terangsang setelah melihat kartu-kartu porno bersama teman-temannya (Tabloid Nova 12/2/2003), seorang murid kelas 5 SD di Banjarmasin Timur melakukan pencabulan terhadap bocah berusia 5 tahun setelah menyaksikan adegan porno film dewasa (Berita Radar Kota 14/11/2006).
Kenyataan-kenyataan ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : adanya dampak negatif dari arus globalisasi dan komunikasi serta informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat, terlebih kepada perilaku anak.
Perbuatan anak yang nyata-nyata bersifat “melawan hukum” dirasakan sangat mengganggu kehidupan masyarakat. Akibatnya kehidupan masyarakat menjadi resah, perasaan tidak aman bahkan menjadi ancaman bagi anak mereka. Oleh karena itu perlunya perhatian terhadap usaha penanggulangan dan penanganannya, khusus dibidang hukum pidana beserta hukum acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana yang masih muda usianya, sebab adalah hak setiap anak untuk diperlakukan secara manusiawi, walaupun ia terlibat tindak pidana.
Dalam hukum pidana materil, delik kesusilaan diatur dalam Buku II BAB XIV Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mana untuk kejahatan perbuatan cabul diatur dalam Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP, khusus perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur terdapat dalam pasal 290, 292, 294 dan dan Pasal 295 KUHP.
Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur mengenai perbuatan cabul terdapat dalam Pasal 82 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 82 : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak 300 juta rupiah dan paling sedikit 60 juta rupiah”

Selama ini penanganan perkara yang pelakunya masih tergolong anak, dapat dikatakan hampir sama dengan penanganan yang tersangkanya adalah orang dewasa. Hal yang paling transparan dalam pemeriksaan, apabila tersangka/terdakwa anak ini dilakukan penahanan, dari segi waktu tidak berbeda dengan waktu penahanan yang diberlakukan bagi orang dewasa. Begitu pula petugas pemeriksa dalam memeriksa tersangka/terdakwa dilakukan dengan cara yang sama seperti orang dewasa.
Proses peradilan yang dijalani anak sangat ditentukan oleh peran aparat penegak hukum yang menjalankan sistem. Oleh karena itu dalam menangani perkara anak terutama pemeriksaannya atau perlakuannya tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Mengingat alasan filosofis keadilan yaitu :
“Menyamakan sesuatu yang tidak sama/berbeda adalah sama tidak adilnya dengan membedakan sesuatu yang sama”.

Jika hal ini terjadi, tentunya akan mempengaruhi sikap mental seorang anak, ia akan merasa sangat ketakutan, mengalami tekanan kejiwaan, hal ini sangat merugikan kepentingan anak, jangan sampai nantinya setelah mengalami masa hukuman, anak menjadi bertambah kenakalannya.
Dengan demikian berdasarkan hal tersebut diatas, maka pemerintah bersama DPR membentuk undang-undang yaitu Undang Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Dengan lahirnya Undang Undang Pengadilan Anak tersebut, tampak bahwa sesungguhnya pemerintah telah bertekad untuk mewujudkan suatu peradilan anak yang baik. Dengan demikian diharapkan anak yang terkena kasus pelanggaran hukum tidak dirugikan secara fisik maupun mental. Dalam hal ini Undang-Undang No 3 tahun 1997 dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi anak dalam proses acaranya.
Selain itu Undang-Undang Pengadilan Anak ternyata telah mencabut ketentuan Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP, yang selama ini digunakan dalam menangani perkara anak, sehingga sekarang ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi.
Dengan dibentuknya Undang Undang No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka diharapkan penanganan perkara anak sudah dibedakan dengan orang dewasa demi perkembangan psikologis anak. Namun yang menjadi pertanyaan bagi penulis, apakah penuntut (jaksa anak) dan hakim anak telah menyelesaikan perkara anak sesuai dengan amanat Undang Undang Pengadilan Anak ?
Selain itu karena yang menjadi korban juga anak maka perlu pula diperhatikan adalah bagaimana anak yang menjadi korban tersebut mendapat perlakuan yang sesuai dengan hukum, yang dalam hal ini tidak dapat terlepas dari keberadaan Undang Undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka untuk menjamin hak-hak anak tersebut.
Atas dasar hal tersebut, maka penulis termotivasi untuk mengkaji lebih dalam terhadap salah satu penyelesaian perkara anak yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul sebagai berikut :
“Delik Pencabulan Dengan Pelaku dan Korban Anak (Studi Kasus Putusan Pengadilan Maros No. 130/Pid.B/2005/PN. MAROS)”.

1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk menelaah permasalahan :
1. Apakah penanganan kasus delik pencabulan dengan pelaku dan korban anak sudah sesuai dengan ketentuan Undang-undang Pengadilan Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak ?
2. Kendala apakah yang dihadapi dalam menerapkan Undang-undang Pengadilan Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak terhadap penanganan kasus delik pencabulan dengan pelaku dan korban anak?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui kesesuaian penanganan kasus delik pencabulan dengan pelaku dan korban anak terhadap ketentuan Undang-undang Pengadilan Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak
2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam menerapkan Undang-undang Pengadilan Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak terhadap penanganan kasus delik pencabulan dengan pelaku dan korban anak.

Ada dua kegunaan dari penelitian ini, yaitu :
1) Kegunaan Teoritis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan sebagai bahan acuan juga sebagai sumbangan berharga bagi pengembangan ilmu hukum khususnya Hukum Acara Pidana serta menambah pengetahuan dalam menunjang pengembangan ilmu bagi penulis sendiri.
2) Kegunaan Praktis
Diharapkan dapat digunakan dan dijadikan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung atau tidak langsung didalamnya, agar dapat bertindak lebih profesional dalam kaitannya dalam permasalahan pencabulan terhadap anak, sehingga penegakan perlindungan anak berdasarkan undang-undang perlindungan anak dan undang-undang pengadilan anak dapat terwujud.

































BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Delik
2.1.1 Pengertian Delik
Delik berasal dari bahasa Latin dengan istilah Delictum, sedangkan dalam bahasa Belanda istilah tersebut dikenal dengan nama Strafbaarfeit.
Mengenai pemakaian istilah delik sebagai terjemahan, dalam hal ini oleh pakar hukum belum ada keseragaman. Ada yang menerjemahkan dengan istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, tindak pidana dan delik, tergantung persepsi mereka masing-masing.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Moeljatno (2002:54) memakai istilah perbuatan pidana sebagai terjemahan dari strafbaarfeit, dan memberikan definisi sebagai berikut :
“Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut”

Moeljatno (2002:54) memakai istilah “Perbuatan Pidana” dengan pertimbangan bahwa antara larangan dengan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu mempunyai hubungan yang erat pula. Suatu kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dengan kata lain bahwa seseorang itu tidak dapat dipidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.
Tirtaamidjaja (Ledeng Marpaung 2005:7) menggunakan istilah “Pelanggaran Pidana” untuk kata “delik”
Sedangkan E. Utrecht (Ledeng Marpaung 2005:7) memakai istilah “Peristiwa Pidana” karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.
Lain halnya dengan Andi Zainal Abidin Farid (1981:145), strafbaarfeit diterjemahkan kedalam istilah delik dengan alasan sebagai berikut :
1. Bersifat universal, semua orang di dunia mengenalnya ;
2. Bersifat ekonomis karena singkat ;
3. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti “Peristiwa Pidana”, “perbuatan Pidana” (bukan peristiwa suatu perbuatan yang dipidana, tetapi pembuatnya) ;
4. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik yang diwujudkan oleh koorporasi.

Mengenai “delik” dalam arti strafbaarfeit, para pakar hukum pidana masing-masing memberi definisi sebagai berikut.
Definisi delik menurut VOS (Leden Marpaung, 2005:8) menyatakan bahwa :
“Delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang undang”

Selain itu Van Hamel (Leden Marpaung, 2005:8) menganggap bahwa :
“Delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain”

Simons (Leden Marpaung, 2005:8) menyatakan bahwa :
“Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai perbuatan /tindakan yang dihukum”.

Pada umumnya delik terdiri dari dua unsur pokok, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif.
1. Unsur Subjektif :
Asas pokok hukum pidana “tak ada hukuman kalau tak ada kesalahan“. Kesalahan yang dimaksud adalah sengaja dan kealpaan.
a). Sengaja (dolus)
Menurut para pakar ada tiga bentuk sengaja yaitu :
1. Sengaja sebagai maksud;
2. Sengaja dengan keinsafan pasti;
3. Sengaja dengan keinsafan akan kemungkinan.
b). Kealpaan
Merupakan bentuk kesalahan yang paling ringan dari kesengajaan.
Ada dua bentuk kealpaan :
1). Tidak berhati-hati;
2). Dapat menduga akibat perbuatan itu.
2. Unsur Objektif
Unsur objektif terdiri dari :
1. Perbuatan manusia berupa :
a. Act yakni perbuatan aktif yang juga ada pakar yang menyebut perbuatan positif.
b. Omission yakni tidak aktif berbuat, sebagian pakar menyebut dengan perbuatan pasif.
2. Akibat perbuatan manusia :
Akibat yang dimaksud adalah membahayakan atau merusak/menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta benda, kehormatan.
3. Keadaan-keadaan :
a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan ;
b. Keadaan setelah perbuatan melawan hukum.
4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum :
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan dan perintah.
Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan dalam suatu delik, satu unsur saja tidak ada atau tidak didukung bukti akan menyebabkan tersangka/terdakwa tidak dapat dihukum.
Dari beberapa rumusan pengertian delik yang telah penulis paparkan sesuai dengan pendapat para ahli hukum diatas dapat disimpulkan bahwa delik adalah suatu perbuatan melawan hukum yang harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Ada perbuatan ;
2. Dilarang atau diperintahkan hukum pidana ;
3. Perbuatan tersebut adalah perbuatan manusia ;
4. Tidak ada dasar pembenar.
Selain itu unsur pertanggungjawaban pidana sangat penting dalam pembuktian suatu delik. Adapun unsur pertanggungjawaban pidana itu adalah sebagai berikut :
1. Kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat;
2. Kesalahan dalam arti luas;
3. Tidak ada dasar pembenar.
Jika kedua unsur tersebut diatas sudah terbukti, maka terpenuhilah syarat pemidanaan.
2.1.2 Jenis-Jenis Delik Kesusilaan
Sebelum menguraikan jenis-jenis delik kesusilaan terlebih dahulu penulis akan memberi pengertian tentang kesusilaan itu sendiri. Dari segi hukum hal ini dapat dilihat dari beberapa pendapat ahli hukum, R. Soesilo (1988:204) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
“Kesopanan” disini dalam arti kata “Kesusilaan” (Zeden, eerbaarheid), perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan wanita atau pria, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dan sebagainya”.

Ledeng Marpaung (2004:3) merumuskan makna dari kesusilaan yaitu :
“berkenaan dengan moral, etika yang telah diatur dalam perundang-undangan “.

Simons (Moch. Anwar, 1986:212) merumuskan kesusilaan sebagai perbuatan yang merusak, dengan mengemukakan sebagai berikut :
“Perbuatan merusak adalah setiap perbuatan yang tergolong dalam kehidupan seksuil yang dilakukan dimuka umum untuk menimbulkan atau memuaskan nafsu birahi, perbuatan mana yang menyinggung perasaan hati orang-orang lain dan menimbulkan rasa malu pada semua orang lain”.

Sehubungan dengan hal itu pula Wirjono Prodjodikoro (2003:112)
bahwa :
“Kesusilaan yang dirusak ini sebenarnya apa yang dirasakan sebagai kesusilaan oleh segenap orang biasa dalam suatu masyarakat tertentu. Sebenarnya rasa susila ini sebagian besar justru tersinggung karena perbuatan yang bersangkutan dilakukan dimuka umum atau dihadiri oleh orang tanpa kemauannya”.

Dengan memperhatikan beberapa pendapat ahli hukum pidana sebagaimana yang telah diuraikan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan delik kesusilaan adalah suatu perbuatan, tindakan, peristiwa dan lain sebagainya, perbuatan mana menyebabkan susila dan sopan santun terlanggar, oleh karena dilakukan pada tempat umum, tempat yang dapat dilhat dan atau dihadiri oleh umum, dilakukan dengan sengaja, bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat tertentu. Susila dan sopan santun tersebut erat kaitannya dengan seks dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat tertentu.
Mengenai penerapan delik kesopanan atau kesusilaan, Abu Ayyub Saleh (1989:61) menguraikan sebagai berikut :
“Penerapan delik kesopanan atau kesusilaan ini baru dapat memenuhi persyaratan menurut Undang-Undang bila dilakukan dengan suatu perbuatan berupa dilakukan langsung, diperagakan dan bukan dilakukan dengan melalui ucapan atau kata-kata, bila dilakukan dengan pernyataan ucapan-ucapan atau penuturan kata-kata-kalimat maka tidaklah dapat diterapkan sebagai Delik Kesopanan/kesusilaan tetapi dapat dikenakan sebagai delik penghinaan dsb. Tentunya pula penerapan delik kesopanan ini/kesusilaan ini tidak terlepas dari situasi dan kondisi dimana delik tersebut dilakukan”.

Adapun jenis-jenis delik kesusilaan yang akan penulis kemukakan adalah perzinahan, pemerkosaan dan persetubuhan dengan wanita di bawah umur yang mana khusus delik pencabulan akan dibahas pada sub bab tersendiri. Untuk itu lebih jelasnya penulis akan menguraikan sebagai berikut :
2.1.2.1 Perzinahan
Perzinahan sebagaimana diatur dalam pasal 284 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagai berikut :
(1). Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan :
1. a. seorang laki-laki yang telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya ;
b. seorang perempuan yang telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya ;
2. a. seorang laki-laki yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang perempuan yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.

Moch. Anwar (1986:221) berzinah terdiri atas perbuatan persetubuhan antara orang yang telah menikah dengan seorang yang bukan istrinya atau suaminya, persetubuhan mana dilakukan dengan sukarela. Perbuatan zina hanya dapat dilakukan oleh seorang yang telah menikah, sedang seorang yang belum menikah hanya dapat dipersalahkan sebagai perbuatan turut serta melakukan, meskipun orang yang belum menikah melakukan segala perbuatan yang dilakukan oleh orang yang telah menikah.
Selanjutnya yang dimaksud dengan perzinahan (Moch. Anwar 1986:221) itu adalah suatu perbuatan persetubuhan antara orang yang telah kawin dengan seorang yang bukan istrinya atau suaminya, dimana persetubuhan tersebut dilakukan dengan cara sukarela.Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa bilamana terjadi paksaan dalam persetubuhan tersebut, maka pihak yang dipaksa tidak melakukan suatu kejahatan, melainkan dia termasuk objek kejahatan.
Dengan memperhatikan rumusan Pasal tersebut di atas KUHP merumuskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai perbuatan zinah yakni apabila perbuatan persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang telah menikah atau terikat tali perkawinan, dimana perbuatan persetubuhan tersebut dilakukan bukan terhadap istri atau suami dan tanpa adanya unsur paksaan.
Oleh karena perbuatan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka oleh kedua belah pihak, maka pihak yang dapat melakukan pengaduan dalam hal ini pihak yang merasa dirugikan yakni suami atau istri dari kedua belah pihak.
R. Soesilo (1988:209) menyatakan bahwa :
“Yang dimaksud dengan persetubuhan ialah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak. Jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air mani”

Selanjutnya Andi Zainal Abidin Farid (1962:119) berpendapat bahwa:
“Tidak diperlukan keluarnya air mani si lelaki tetapi sudah cukup dimasukkan kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan”

2.1.2.2 Pemerkosaan
Pemerkosaan sebagaimana diatur dalam pasal 285 KUHP berbunyi sebagai berikut :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”

Unsur-unsur pasal 285 dikemukakan oleh Moch. Anwar, S.H (1986:226) adalah :
1. Memaksa bersetubuh dengan dia
2. Perempuan yang bukan istrinya
3. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
Selanjutnya penulis akan menguraikan unsur-unsur perkosaan yang terdapat dalam pasal 285 KUHP :
1. Memaksa bersetubuh dengan dia
Dengan mempergunakan paksaan terhadap seorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan merupakan perbuatan yang dilarang menurut Pasal 285 KUHP.
Perbuatan persetubuhan dalam hal ini harus diartikan sebagai suatu hubungan kelamin antara seorang pria dan seorang wanita, hubungan kelamin mana pada umumnya dapat menimbulkan akibat kehamilan bagi wanita itu.
Dipersyaratkan dalam perbuatan persetubuhan ini bahwa kemaluan dari seorang wanita, karena hubungan wajar antara kedua bagian dari kelamin itu menimbulkan akibat luka pada wanita remaja, sedangkan penumpahan mani tidak perlu terjadi, karena meskipun hal itu dibutuhkan untuk kehamilan, bagi wanita remaja tidak tidak perlu ditujukan pada hal itu.
Untuk persetubuhan pada umumnya tidak perlu terjadi suatu penumpahan mani, berhubung ketentuan dalam pasalnya tidak ditujukan pada kehamilan, karena kehamilan tidak terletak pada kekuasaan manusia sepenuhnya.
Pelaku harus selalu seorang pria, berhubung perbuatan persetubuhan terjadi antara seorang pria dan wanita.
2. Perempuan yang bukan istrinya
Kejahatan ini dilakukan hanya terhadap wanita, perempuan yang bukan istrinya adalah yang tidak ada ikatan perkawinan dengan silelaki. Dan pelaku harus mengetahui bahwa perempuan tersebut adalah bukan istrinya.
3. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
Seperti yang dikemukakan oleh Moch. Anwar (1986:227) bahwa :
“Kekerasan adalah suatu saran untuk memaksa, suatu sarana yang mengakibatkan perlawanan dari orang yang di paksa menjadi lemah”

Apabila kekerasan menjadikan seorang wanita menjadi lemas atau tidak berdaya, karena kehabisan tenaga, atau kekerasan mematahkan kemajuannya karena terjadi persentuhan antara kedua jenis kemaluan, perlawanan dari wanita terhenti, maka perbuatan memaksa dengan kekerasan tetap terjadi, wanita itu menyerahkan diri karena dipaksa dengan kekerasan, wanita itu menyerahkan diri karena dipakasa dengan kekerasan, penyerahan diri mana ia ingin ia tolak.
Kekerasan atau ancaman kekerasan di sini merupakan sarana untuk memaksa secara fisik yang hanya dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan, dimana silelaki tersebut mempunyai tujuan untuk melakukan persetubuhan.
2.1.2.3 Persetubuhan dengan wanita di bawah umur
Hal ini di atur dalam pasal 287 KUHP, berbunyi demikian :
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas bahwa ia belum waktunya untuk di kawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya boleh dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Dengan melihat rumusan Pasal 287 KUHP ini mengenai persetubuhan dengan wanita di bawah umur objeknya adalah seorang wanita yang belum berumur 15 tahun atau belum waktunya atau bila umurnya tidak jelas, bahwa wanita itu belum masanya untuk kawin.
Lain halnya bila persetubuhan tersebut dilakukan pada istrinya sendiri, sedang diketahui bahwa wanita yang menjadi istrinya tersebut belum masanya untuk dikawinkan yang akibat perbuatannya tersebut dapat menimbulkan luka berat atau dapat mengakibatkan kematian, hal ini diatur dalam pasal 288 KUHP.
Perbedaan utama antara pasal 287 KUHP dengan pasal 288 KUHP menekankan status wanita itu di dalam perkawinan, sedangkan pasal 287 KUHP status wanita tersebut tidak terikat tali perkawinan.
2. 2 Delik Pencabulan
2.2.1 Pengertian Delik Pencabulan Menurut Pendapat Ahli
Kejahatan kesusilaan dalam hal ini adalah perbuatan cabul berasal dari kata “cabul” dalam kamus Bahasa Indonesia memuat arti perbuatan cabul adalah keji, kotor, dan tidak senonoh (melanggar kesopanan/kesusilaan).
Pengertian perbuatan cabul menurut R. soesilo (1988:212) adalah sebagai berikut :
“Perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kelamin, meraba-raba buah dada dan sebagainya “

Sedang Moch. Anwar (1986:231) mengemukakan bahwa :

“Perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan, tetapi juga setiap perbuatan terhadap badan atau dengan badan sendiri maupun badan orang lain yang melanggar kesopanan, adalah perbuatan cabul”

Chazawi (2005:80) mengemukakan sebagai berikut :
“Perbuatan cabul (ontuchtige handelingen), adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun dilakukan pada orang lain mengenai dan berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual”

Ditegaskan kembali oleh Chazawi (2005:82) bahwa :

“Perbuatan cabul selalu terkait dengan perbuatan tubuh atau bagian tubuh terutama pada bagian-bagian yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya alat kelamin, buah dada, mulut dan sebagainya, yang dipandang melanggar kesusilaan umum”

Sedangkan menurut Hoge Raad (Ledeng Marpaung, 2004:65) perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah dalam lingkungan nafsu birahi. Misalnya :
• seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan menyentuhkan pada alat kelaminnya (Hoge raad 15—2-1926);
• seorang laki-laki merabai badan seorang anak laki-laki dan kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat mengelus teteknya dan menciumnya. Pelaku melakukan hal tersebut untuk memuaskan nafsu sexualnya (Hoge Raad tanggal 28-5-1963 N.J 1964 No. 108).

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka penulis dapat menarik kesimpulan mengenai perbuatan cabul yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang didorong oleh keinginan seksual untuk melakukan hal-hal yang dapat membangkitkan nafsu birahi kelamin sehingga menimbulkan kepuasan pada dirinya.
Kejahatan kesusilaan mengenai perbuatan cabul ini diatur dalam KUHP dalam Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP. Yakni perbuatan berupa
1. Pasal 289, mengenai perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan ;
2. Pasal 290, mengenai kejahatan melakukan perbuatan cabul terhadap perempuan yang belum dewasa atau belum cukup umur 15 tahun atau dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya ;
3. Pasal 291, mengatur apabila salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 289 dan pasal 290 yakni perbuatan cabul yang dilakukan mengakibatkan luka berat atau menyebabkan orang mati ;
4. Pasal 292, mengenai perbuatan cabul sesama kelamin (homo sexual) ;
5. Pasal 293, mengenai kejahatan dengan pemberian menggerakkan orang belum dewasa berbuat cabul ;
6. Pasal 294, mengenai kejahatan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang dilakukan orang tua atau yang mempunyai hubungan ;
7. Pasal 295, mengenai kejahatan memudahkan anak di bawah umur untuk berbuat cabul ;
8. Pasal 296, mengenai kejahatan memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain sebagai mata pencaharian atau kebiasaan.
Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur mengenai perbuatan cabul terdapat dalam Pasal 82 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 82 : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak 300 juta rupiah dan paling sedikit 60 juta rupiah”
2.2.2 Unsur-Unsur Delik Pencabulan
1. Kejahatan Mengenai Perbuatan Yang Menyerang Kehormatan Kesusilaan
Kejahatan ini diatur dalam Pasal 289 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang selengkapnya berbunyi :
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
a. Perbuatannya : memaksa ;
Ledeng Marpaung (2004:53) menafsirkan memaksa sebagai suatu perbuatan yang demikian rupa sehigga tak berdaya untuk menghindarinya.
b. Caranya; dengan :
1) kekerasan;
Kekerasan yang dimaksudkan yaitu setiap perbuatan yang agak hebat. Pasal 89 KUHP memperluas pengertian kekerasan sehingga memingsankan atau melemahkan orang, disamakan dengan melakukan kekerasan
2) ancaman kekerasan;
Ancaman kekerasan tersebut ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidak memungkinkan baginya selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi.
c. Objeknya : seorang untuk :
1) melakukan ; atau
orang yang melakukan perbuatan cabul itu adalah korban yang dipaksa. Kepada siapa perbuatan cabul itu dilakukan tidak ditegaskan dalam rumusan pasal 289, maksud yang sebenarnya adalah si pembuat yang yang memaksa. Misalnya seorang laki-laki memaksa seorang perempuan untuk mengelus-elus alat kelaminnya. Akan tetapi, karena dalam pasal ini tidak di tegaskan, perbuatan cabul dapat pula dilakukan oleh orang yang di paksa terhadap dirinya sendiri. Misalnya seorang perempuan dipaksa bertelanjang bulat, atau dipaksa memasukkan suatu benda ke alat kelaminnya.
2) membiarkan dilakukan;
korban yang dipaksa adalah pasif, yang melakukan perbuatan cabul adalah si pembuat yang memaksa. Misalnya si pembuat meremas-remas atau memegang buah dada seorang perempuan, atau memegang alat kelamin perempuan itu.
d. Perbuatan cabul
Sebagian pakar berpendapat bahwa “Barangsiapa” bukan merupakan unsur, hanya memperlihatkan si pelaku (dader/doer) adalah manusia, tetapi perlu diuraikan lagi manusia siapa dan berapa orang, jadi identitas “Barangsiapa” tersebut harus jelas.
2. Kejahatan Perbuatan Cabul Dengan Orang Pingsan, Orang Yang Belum Berumur 15 tahun dan Membujuk Orang Yang Belum 15 tahun Untuk dicabuli
Hal ini dimuat pada Pasal 290 dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dirumuskan sebagai berikut :
Diancam dengan pidana penjara penjara paling lama tujuh tahun:
1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya ;
2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;
3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
• Unsur-unsur kejahatan pasal 290 ayat (1) adalah sebagai berikut :
Unsur-unsur Objektif :
a. Perbuatannya : perbuatan cabul ;
b. Objeknya : dengan seorang ;
c. Dalam keadaan :
1) pingsan ; atau
2) tidak berdaya
Pengertian pingsan atau tidak berdaya (pasal 89 KUHP) yaitu :
Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya.
Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun.
Unsur Subjektif :
a. Diketahuinya bahwa orang itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya
• Unsur-unsur kejahatan pasal 290 ayat (2) adalah sebagai berikut :
Unsur-unsur Objektif :
d. Perbuatannya : perbuatan cabul ;
e. Objeknya : dengan seorang ;
f. Dalam keadaan :
1) umurnya belum 15 tahun, atau
2) jika tidak jelas umurnya orang itu belum waktunya untuk dikawin;
Belum waktunya untuk dikawin adalah belum pantas untuk disetubuhi. Ukuran belum pantas untuk disetubuhi dilihat dari ciri-ciri anak tersebut. Dan bisa juga ditambah dengan ciri-ciri psikis yang tampak dari sifat dan kelakuannya.
Unsur Subjektif :
g. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun ;
Kejahatan dalam ayat 2 pasal 290 ini mirip pada kejahatan dalam pasal 287 ayat (1). Kemiripan ini karena unsur-unsurnya adalah sama, kecuali :
1. Unsur perbuatan, menurut pasal 287 adalah bersetubuh dan menurut Pasal 290 ayat (2) adalah perbuatan cabul
2. unsur objek kejahatan yang menurut pasal 287 harus seorang perempuan yang bukan istrinya, tetapi objek kejahatan menurut Pasal 290 ayat (2) dapat seorang laki-laki atau seorang perempuan.
Perbuatan cabul menurut pasal 290 ayat (2) ini disetujui atau atas kemauan korban (anak-anak).
Pasal ini merupakan perlindungan terhadap anak/remaja. Pada pasal tersebut tidak ada kata “wanita” melainkan kata “orang”. Dengan demikian, meskipun dilakukan terhadap anak/remaja pria, misalnya oleh homoseks maka pasal ini dapat diterapkan.
• Unsur-unsur kejahatan Pasal 290 ayat (3) adalah sebagai berikut :
Unsur-unsur Objektif :
a. Perbuatannya : membujuk ;
Membujuk artinya berusaha supaya orang menuruti kehendak yang membujuk atau perbuatan mempengaruhi kehendak orang lain agar kehendak orang itu sama dengan kehendaknya.
b. Objeknya : orang yang :
1) umurnya belum 15 tahun, atau
2) jika tidak jelas umurnya orang itu belum waktunya untuk dikawin;
c. Untuk :
1) Melakukan perbuatan cabul ;
2) Dilakukan perbuatan cabul; atau
3) Bersetubuh di luar perkawinan ;
Unsur Subjektif :
d. Yang diketahuinya umurnya belum lima belas tahun, atau jika tidak jelas umurnya yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.
Pelaku pada Pasal ini, bukan pelaku cabul tetapi “yang membujuk”
3. Kejahatan Perbuatan Cabul Sesama Kelamin
Hal ini diatur pada Pasal 292 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”

Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

Unsur-unsur Objektif :
a. Perbuatannya : perbuatan cabul ;
b. Si pembuatnya ; oleh orang dewasa ;
c. Objeknya : pada orang sesama jenis kelamin yang belum dewasa.
Unsur Subjektif :
d. 1) yang diketahuinya belum dewasa; atau
2) yang seharusnya patut diduganya belum dewasa.
Pasal ini melindungi orang yang belum dewasa dari orang yang dikenal sebagai “homo seks” (tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama) atau “lesbian” (wanita yang tertarik pada sesama jenisnya).
4. Kejahatan Dengan Pemberian Menggerakkan Orang Belum Dewasa Melakukan Perbuatan Cabul
Hal ini diatur pada Pasal 293 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang rumusannya sebagai berikut :
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan dengan sengaja mengerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengadaan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.

Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
Unsur-unsur Objektif :
a. Perbuatannya : menggerakkan ;
Perbuatan menggerakkan (bewengen) adalah perbuatan mempengaruhi kehendak orang lain, atau menanamkan pengaruh pada kehendak orang lain ke arah kehendaknya sendiri, atau agar sama dengan kehendaknya sendiri. Jadi objek yang dipengaruhi adalah kehendak atau kemauan orang lain.
b. Cara-caranya :
1) memberi uang atau barang ;
2) menjanjikan memberi uang atau barang ;
3) menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan;
4) penyesatan ;
c. Objeknya : orang yang belum dewasa ;
d. Yang baik tingkah lakunya ;
e. Untuk :
1) melakukan perbuatan cabul ;
2) dilakukan perbuatan cabul dengannya.
Unsur Subjektif :
f. Diketahuinya atau selayaknya harus diduganya tentang belum kedewasaannya.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah :
a. Sengaja membujuk orang untuk melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul pada dirinya.
b. Membujuk dengan mempergunakan
- hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang; atau
- pengaruh yang berlebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada ; atau
- tipu
5. Kejahatan Perbuatan Cabul dengan Orang Yang Belum Dewasa Yang Dilakukan Orang Tua atau yang Mempunyai Hubungan
Hal ini diatur pada Pasal 294 KUHP yang rumusannya sebagai berikut :
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan, atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan pembantunya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama :
1. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaanya dipercayakan atau diserahkan kepadanya;
2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.

• Unsur-unsur kejahatan Pasal 294 ayat (1) adalah sebagai berikut :
Unsur-unsur Objektif :
a. Perbuatannya : perbuatan cabul ;
b. Objeknya dengan :
1) anaknya yang belum dewasa ;
2) anak tirinya yang belum dewasa ;
3) anak angkatnya yang belum dewasa ;
4) anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa; yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ;
5) pembantunya yang belum dewasa ;
6) bawahannya yang belum dewasa ;
• Unsur-unsur kejahatan Pasal 294 butir 1 ayat (2) adalah sebagai berikut :
a. Subjek hukum/pembuatnya : seorang pejabat ;
b. Perbuatan : melakukan perbuatan cabul ;
c. Dengan :
1) bawahannya karena jabatan;
3) orang yang penjagaannya diserahkan kepadanya.
• Unsur-unsur kejahatan Pasal 294 butir 2 ayat (2) adalah sebagai berikut :
a. 1) Seorang pengurus
2) Seorang dokter ;
3) Seorang guru ;
4) Seorang pegawai ;
5) Seorang pengawas ;
6) Seorang pesuruh ;
b. 1) dalam penjara :
2) tempat pekerjaan negara ;
3) rumah piatu ;
4) di rumah sakit ;
5) di rumah sakit jiwa ;
6) di lembaga sosial ;
c. Perbuatannya : perbuatan cabul.
d. Objek : dengan orang yang dimasukkan kedalamnya.
6. Kejahatan memudahkan Anak di Bawah Umur Melakukan Perbuatan Cabul
Hal Ini diatur pada Pasal 295 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Diancam :
1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa yang dalam hal anaknya , anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh pembantunya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan sengaja menyebabkan dan mempermudah dilakukan perbuatan cabul olehnya ;
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa yang dalam hal dilakukannya perbuatan cabul oleh orang selain yang disebutkan dalam butir 1 tersebut di atas yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa dengan orang lain, dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dillakukannya perbuatan cabul tersebut.
(2) jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.

• Unsur-unsur kejahatan Pasal 295 butir 1 ayat (1) adalah sebagai berikut:
Unsur-unsur Objektif :
a. Perbuatannya :
1) menyebabkan perbuatan cabul ;
perbuatan menyebabkan ialah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan suatu akibat, akibat perbuatan cabul anaknya dan lain-lain dengan orang lain.
2) memudahkan perbuatan cabul ;
perbuatan memudahkan perbuatan cabul adalah perbuatan dengan bentuk apapun yang sifatnya memberi kemudahan, yakni dengan cara menolong, atau memperlancar dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya dan lain-lain dengan orang lain.
Menyebabkan atau memudahkan itu harus dilakukan dengan sengaja, misalnya : seorang ibu membiarkan anaknya yang masih di bawah umur tanpa orang lain berduaan dengan seorang laki-laki dalam sebuah kamar, menurut Hoge Raad (Ledeng Marpaung 2004:71) telah dengan sengaja memudahkan anaknya melakukan perbuatan cabul.
b. Objek :
1) oleh anaknya yang belum dewasa
2) oleh anak tirinya yang belum dewasa ;
3) oleh anak angkatnya yang belum dewasa ;
4) oleh anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa ;
5) oleh orang yang pemeliharaannya, pendidikannya atau penjagaannya diserahkan kepadanya yang belum dewasa ;
6) oleh pembantunya yang belum dewasa ;
7) oleh bawahannya yang belum dewasa ;
c. dengan orang lain ;
Unsur Subjektif :
d. Dengan sengaja ;
• Unsur-unsur kejahatan Pasal 295 butir 2 ayat (1) adalah sebagai berikut :
Unsur-unsur Objektif :
a. Perbuatannya : 1) menyebabkan perbuatan cabul ;
2) memudahkan perbuatan cabul ;
b. selain yang tersebut dalam butir 1 di atas ;
c. oleh orang yang belum dewasa ;
Unsur Subjektif :
d. 1) dengan sengaja ;
2) yang diketahuinya belum dewasa ;
3) yang sepatutnya harus diduga belum dewasa ;
7. Kejahatan Memudahkan Perbuatan Cabul oleh orang lain dengan orang lain sebagai pencaharian atau kebiasaan
Kejahatan ini dirumuskan dalam pasal 296 yang selengkapnya berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”

Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
Unsur-unsur Objektif :
a. Perbuatannya :
b. 1) menyebabkan dilakukannya perbuatan cabul ;
2) mempermudah dilakukannya perbuatan cabul ;
c. Objek : oleh orang lain dengan orang lain ;
d. Yang dijadikannya :
1) sebagai pencaharian ;
2) sebagai kebiasaan ;
Unsur Subjektif :
e. dengan sengaja.
Pasal ini gunanya untuk memberantas pengadaan tempat-tempat pelacuran yang banyak terdapat di kota-kota besar.
2.3 Anak
2.3.1 Pengertian Anak
Pengertian anak masih merupakan masalah dan sering menimbulkan kesimpangsiuran pendapat para ahli. Ini dikarenakan belum adanya pengertian yang jelas dan seragam baik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia maupun pendapat sarjana mengenai hal ini. Akan tetapi, kalau kita melihat bunyi pasal 330 KUHPerdata dan bunyi Ordonansi 31 januari 1931 No. 54 LN 1931, dapat kita lihat kriteria orang yang belum dewasa.
Pasal 330 KUHPerdata (R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, 2001 : 90) berbunyi :
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”.

Ketentuan dalam pasal 330 KUHPerdata ini hanya berlaku bagi orang Eropa dan Golongan Timur Asing (Tionghoa), sehingga bagi golongan Timur Putra (Indonesia) diberikan Staadsblad 1917 No. 138 kemudian dicabut dan diganti dengan Staadsblad 1931 No. 54 (R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, 2001 : 90) yang berbunyi :
“Apabila peraturan undang-undang memakai istilah “belum dewasa”, maka sekadar mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksudkan : segala orang yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”
“Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai umur dua puluh dua tahun, maka tidaklah mereka kembali dalam istilah “belum dewasa”.

Dengan memperhatikan ketentuan pasal 330 KUHPerdata dan bunyi Ordonansi 31 Januari 1931 No. 54 LN. 1931 atau Staadblad 1931 No. 54 tersebut diatas, maka batasan umur sehingga seseorang dikategorikan anak yaitu yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin.
Pada pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sedangkan dalam ketentuan KUHP tidak memberikan pengertian mengenai anak, tetapi hanya memberikan batasan umur. Menurut ketentuan Pasal 45 KUHP maka batasan anak adalah orang yang berumur di bawah 16 (enam tahun). Namun dengan lahirnya Undang Undang Pengadilan Anak ternyata telah mencabut ketentuan Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP, yang selama ini digunakan dalam menangani perkara anak, sehingga sekarang ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Sedangkan apabila ditinjau batasan anak dalam KUHP sebagai korban kejahatan sebagaimana Bab XIV ketentuan Pasal 287, 290, 292, 294 dan 295 KUHP adalah berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun.
Dalam hal ini Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyatakan sebagai berikut :
Pasal 1 butir 1 : Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin
Pasal 2 : Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dalam lingkungan peradilan umum
Pasal 3 : Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini
Jadi menurut Undang Undang No. 3 Tahun 1997 apabila seseorang yang telah berumur diatas 18 (delapan belas) tahun pada waktu melakukan tindak pidana (kejahatan dan pelanggaran), maka tuntutannya sama yang diberlakukan pada orang dewasa, jadi dianggap telah dewasa. Dan bagi orang yang belum mencapai umur 18 tahun pada waktu melakukan perbuatan yang dapat dihukum, maka hukum dapat memilih 3 alternatif yaitu :
1. Dikembalikan kepada orang tuanya/walinya
2. Ditempatkan di bawah pengawasan pemerintah
3. Menjatuhkan pidana.
2.3.2 Hak dan Kewajiban
Mengenai hak dan kewajiban anak diatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak adalah sebagai berikut:
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk :
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
2.3.3 Proses Pemeriksaan
1. Hakim

Pemeriksaan sidang anak nakal dilakukan oleh Hakim khusus pengadilan yaitu hakim anak. Pengangkatan hakim anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi (Pasal 9). Pengangkatan Hakim Anak oleh Ketua Mahkamah Agung bukan oleh Menteri Kehakiman karena hal tersebut menyangkut teknis yuridis pengadilan dan merupakan pengangkatan hakim khusus (spesialis).
Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 adalah :
1. telah berpengalaman dalam lingkungan Peradilan Umum; dan
2. mempunyai minat perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak (Pasal 10 Undang-undang Pengadilan Anak).
Yang dimaksud dengan mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak adalah memahami :
a. pembinaan anak yang meliputi pola asuh keluarga, pola pembinaan sopan santun, disiplin anak, serta melaksanakan pendekatan secara efektif dan simpatik ;
b. pertumbuhan dan perkembangan anak ; dan
c. berbagai tata nilai yang hidup dimasyarakat yang mempengaruhi kehidupan anak (penjelasan Pasal 10 huruf b Undang-undang No 3 tahun 1997)
Dalam pemeriksaan sidang anak nakal para pejabat pemeriksa yaitu Hakim, Penuntut Umum, dan Penasehat Hukum (khususnya advokat) tidak memakai toga. Juga panitera yang bertugas membantu Hakim tidak memakai jas. Semua pakaian kebesaran tersebut tidak dipakai pejabat pemeriksa. Hal ini dimaksudkan agar dalam persidangan tidak memberikan kesan menakutkan atau seram terhadap anak yang diperiksa. Selain itu juga dengan pakaian biasa dapat menjadikan persidangan berjalan lancar dan penuh kekeluargaan.
2. Persidangan

Dalam pasal 11 Undang-undang Pengadilan Anak menentukan bahwa persidangan anak tingkat pertama dilakukan oleh hakim tunggal. Dari ketentuan ini timbul bahwa tujuannya agar sidang perkara anak dapat diselesaikan dengan cepat. Perkara anak yang disIdangkan dengan hakim tunggal adalah perkara-perkara pidana yang ancaman hukumannya lima tahun tahun kebawah dan pembuktiannya mudah atau tidak sulit. Tindak pidana yang dimaksud antara lain adalah tindak pidana pencurian dan tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan.
Apabila tindak pidananya diancam dengan hukuman penjara diatas lima tahun dan cara pembuktiannya sulit, maka berdasarkan pasal 11 ayat 2 :
“Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan hakim majelis”.

Tetapi dalam pasal tersebut selain dalam “hal tertentu” yaitu tentang ancaman hukuman dan pembuktian tersebut, juga “dipandang perlu”, contohnya tindak pidana pembunuhan pasal 338 dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun. Namun undang-undang tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan dipandang perlu tersebut. Sebab ada kemungkinan meskipun suatu perkara tergolong hal tertentu seperti tindak pidana pemalsuan surat pasal 263 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara atau tindak pidana kekerasan pasal 170 ayat (2) dengan ancaman hukuman maksimal tujuh tahun, tapi tidak dipandang perlu diperiksa dengan hakim majelis, sehingga dalam praktek akan sulit menentukan ukuran-ukuran ”dipandang perlu” dalam pasal tersebut.
Suatu perkara yang diperiksa oleh hakim tunggal dan perkara yang tergolong hal tertentu yang diperiksa dengan hakim majelis, apakah pemeriksaan perkara yang demikian ada hubungannya dengan acara pemeriksaan singkat (pasal 203 KUHAP) dan acara pemeriksaan biasa ? Dalam perkara anak nakal ini karena diatur secara khusus dalam pasal 11 UU Pengadilan Anak, maka peraturan dalam KUHAP harus disampingkan. Penuntut umum cukup menunjukkan perkara anak, dan pengadilanlah akan menetapkan apakah perkara tersebut akan diperiksa hakim tunggal atau hakim majelis. (Gatot Supramono, 2005:62)
Di tingkat banding maupun di tingkat kasasi, hakim yang memeriksa dan memutus perkara anak nakal sama dengan di tingkat peradilan pertama, yaitu dengan hakim tunggal (Pasal 14 dan Pasal 18 Undang Undang Pengadilan anak).
3. Penahanan
Hakim yang memeriksa perkara anak, berwenang melakukan penahanan terhadap terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan paling lama 15 hari. Jika penahanan tersebut adalah penahanan lanjutan, penahanannya dihitung sejak perkara itu dilimpahkan Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri. Apabila bukan penahanan lanjutan, karena terdakwa tidak pernah ditahan di tingkat penyidikan atau penuntutan, maka tergantung kepada hakim kapan perintah penahanan itu dikeluarkan selama perkara belum putus.
Jika dalam jangka waktu 15 hari pemeriksaan belum selesai, penahanan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk paling lama 30 hari. Jadi untuk kepentingan pemeriksaan sidang terdakwa anak dapat ditahan maksimal 45 hari. Apabila lewat dari masa tersebut dan perkara belum diputus, maka terdakwa harus keluar demi hukum.
Pada terdakwa anak yang menderita gangguan fisik dan mental yang berat, dan harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter untuk kepentingan pemeriksaan, meskipun masa penahanan dan masa perpanjangan telah habis, masih dapat lagi untuk paling lama dua kali 15 hari. Dalam tingkat penyidikan dan penuntutan yang berwenang memperpanjang tahanan tersebut adalah Ketua Pengadilan Negeri. Sedang dalam tingkat pemeriksaan di Pengadilan Negeri perpanjangan penahanan untuk itu dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Untuk membantu pelaksanaan tugasnya, Hakim Anak wajib untuk meminta bantuan Pembimbing Kemasyarakatan, untuk mendapat ”bimbingan” adalah pengarahan dan petunjuk tanpa mengurangi kebebasan Hakim, demikian bunyi penjelasan Undang Undang Pengadilan Anak, walau dalam pasal-pasalnya tidak ada kewajiban semacam ini. Hal ini berpangkal dari kondisi masa lalu dimana banyak petugas BISPA (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak) yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena Hakim lebih suka untuk memeriksa dan memutuskan perkara sendiri tanpa bantuan BISPA.
Terhadap putusan pengadilan mengenai perkara anak nakal yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh anak dan atau orang tua, wali, orang tua asuh, atau penasehat hukumnya kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Pasal 20 Undang Undang Pengadilan Anak).
4. Tata Ruang Sidang
Tata ruang sidang pengadilan anak ditata berdasarkan ketentuan sebagaimana pasal 230 KUHAP ayat (3). Ukuran ruang sidang disesuaikan dengan keadaan gedung pengadilan setempat. Berdasarkan pasal 16 Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.02.PW.07.10 tahun 1997 tentang Tata Tertib Persidangan Dan Tata Tertib Ruang Sidang, bahwa ruang sidang Pengadilan Anak dibagi 3(tiga) bagian, yaitu :
a. Ruangan untuk tempat hakim, panitera dan rohaniawan
b. Ruangan untuk tempat penuntut umum, penasihat hukum, pembimbing kemasyarakat, terdakwa, saksi dan orang tua, wali atau orang tua asuh.
c. Ruangan untuk umum.
Agar lebih jelasnya di halaman selanjutnya merupakan denah ruang sidang pengadilan anak sesuai dengan lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI.













DENAH RUANG SIDANG


Keterangan Denah Ruang Sidang :
1. Lambang Negara (Garuda Pancasila)
2. Bendera Merah Putih
3. Panji Pengayoman
4. Meja Hakim.
5. 6. 7 Kursi Ketua/ Hakim Anggota
8. Meja Panitera
9. Kursi Panitera
10. Meja Rohaniawan
11. Kursi Rohaniawan
12. Kursi Pemeriksa
13. Meja jaksa
14. Kursi Jaksa
15. Meja pengacara
16. Kursi Jaksa
17. Kursi terdakwa
18. Kursi Pembimbing Kemasyarakatan.
19. Kursi Saksi/Ahli/Orang Tua Anak
20. Pagar berpintu 2 kiri dan kanan setinggi 1 meter.
21. Bangku-bangku untuk publik, deretan depan disediakan untuk pers
22. Jam
23. Tempat penyumpahan Agama Budha/ Kong Fu Tse
24. Pintu-pintu masuk.

Perlengkapan Persidangan :
a. Palu tersedia di meja Hakim.
b. Kitab suci tersedia dimeja Rohaniawan.
c. Kalender.
d. Diatas meja, penyumpahan Agama Kong Fu Tse
e. Satpam berdiri dipintu utama bagian dalam.

Pada pasal 56 Undang-undang Pengadilan Anak, sebelum sidang dibuka, hakim memerintahkan kepada pembimbing kemasyarakatan agar menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan di wilayah hukum pengadilan setempat. Apabila dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri tidak terdapat BAPAS, maka menurut pasal 12 ayat (2) Keputusan Menteri Kehakiman No.M.02.PW.07.10. Tahun 1997, Hakim dapat memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan dari anak yang bersangkutan untuk membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan pada Balai Kemasyarakatan terdekat.
Adapun laporan hasil penelitian kemasyarakatan sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut :
a. Data individu anak dan data keluarga anak yang bersangkutan
b. Kesimpulan atau pendapat dari pembimbing kemasyarakatan yang membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan.
5. Persidangan Dilaksanakan Secara Tertutup
Hakim anak yang bertugas mengetok palu sebanyak tiga kali dengan menyatakan ”Sidang dibuka dan dinyatakan tertutup untuk umum”. Sidang pengadilan anak dilaksanakan secara tertutup sesuai dengan pasal 153 ayat (3) KUHAP dan pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak yang merupakan kewajiban hukum yang tidak boleh dilupakan, menurut Lilik Mulyadi, (2005:81) pada dasarnya hal ini semata-mata untuk melindungi kepentingan anak baik dari segi mental, moral dan masa depannya. Pelanggaran azas ini mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum.
Setelah pernyataan tersebut diucapkan, hakim memanggil penasihat hukum dan pembimbing kemasyarakatan. Mereka duduk ditempat yang telah disediakan diruang sidang. Kecuali terdakwa untuk sementara duduk di kursi pemeriksa guna memberi keterangan mengenai identitasnya.
Berbeda dengan keadaan persidangan terdakwa dewasa, KUHAP yang hanya membolehkan dalam menghadapi perkara sendiri atau didampingi oleh penasihat hukum. Pada pasal 56 KUHAP menghendaki jiwa terdakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, atau hukuman penjara diatas 15 tahun atau bagi terdakwa yang tidak mampu yang diancam dengan tindak pidana lima tahun keatas, maka hakim wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
Sedang untuk terdakwa anak, selama persidangan digelar pasal 57 ayat (2) Undang-undang pengadilan anak menghendaki terdakwa selain didampingi oleh penasihat hukum juga didampingi oleh orang tua, wali atau orang tua asuh, dan pembimbing kemasyarakatan. Orang tua, wali atau orang tua asuh terdakwa tidak mempunyai fungsi sama dengan penasihat hukum yang dapat membela dipersidangan tapi mereka mempunyai kesempatan untuk mengemukakan hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak sebelum hakim mengucapkan putusannya (pasal 59 ayat (1) Undang-undang Pengadilan Anak).
Hakim wajib mempertimbangkan laporan pembimbing kemasyarakatan. Karena laporan tersebut merupakan salah satu bahan penting bagi hakim dalam putusannya (pasal 59 ayat 2 Undang-undang Pengadilan Anak).
Mengenai kesaksian seorang saksi dipersidangan perkara anak, dapat didengar meskipun tanpa kehadiran terdakwa anak. Sesuai ketentuan pasal 58 ayat (1) Undang-undang Pengadilan Anak, Hakim dapat memerintahkan agar terdakwa dibawa keluar sidang. Maksud dari tindakan ini, adalah agar terdakwa anak tidak terpengaruh kejiwaannya apabila mendengar keterangan saksi yang mungkin sifatnya memberatkan (Darwan Prints, (2003:55)). Selesai pemeriksaan saksi-saksi acara dilanjutkan dengan mendengar keterangan terdakwa anak itu sendiri.
6. Putusan Pengadilan
Sikap hakim sebelum menjatuhkan putusan, setelah acara pembuktian selesai, dilanjutkan dengan acara penuntutan pidana oleh penuntut umum kemudian dilakukan pembelaan terdakwa oleh penasehat hukum, replik dan duplik, baru putusan.
Dalam putusannnya hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan, dan putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan yang tidak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, adalah batal demi hukum (Pasal 59 ayat 3 undang undang pengadilan anak).







BAB 3

METODE PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian
Untuk penelitian lapangan penulis memilih lokasi di Pengadilan Negeri Maros. Penulis memilih lokasi tersebut karena menilai instansi tersebut terkait dalam proses penyelesaian dari delik pencabulan ini.
2. Jenis dan Sumber Data
Data yang terhimpun dari hasil penelitian ini, baik penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan, dapat digolongkan ke dalam dua (2) jenis data yaitu :

1. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden melalui wawancara langsung dengan pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan penulisan skripsi ini, pada lokasi penelitian.
2. Data Sekunder yakni data yang diperoleh dari studi kepustakaan seperti peraturan perundang-undangan, karya tulis, buku-buku dan internet berupa materi-materi lain yang berkaitan dengan pembahasan dalam skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi adalah sebagai berikut :
1. Penelitian lapangan (field research) yakni penelitian yang dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yakni melalui wawancara langsung dengan pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan penulisan skripsi ini
2. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yakni penelitian yang dilakukan dengan menelaah buku-buku, peraturan perundang-undangan, karya tulis, serta data yang didapatkan dari penulisan melalui media internet atau media lain yang ada hubungannya dengan penulisan skripsi ini
4. Analisis Data
Data yang diperoleh, baik itu data primer maupun data sekunder, di analisis dengan teknik analisis kualititatif kemudian disajikan secara deskriptif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar